Trankonmasinews – Ahli Bivitri Susanti menyebutkan ada 7 putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan hakim konstitusi tidak berwenang mengubah syarat usia pejabat publik. Oleh sebab itu, MK diminta menolak gugatan syarat usia capres/cawapres.
“Dari tujuh putusan di atas saja, sudah tergambar konsistensi pandangan Mahkamah Konstitusi mengenai batas usia untuk jabatan tertentu, yang diletakkan dalam konteks kebijakan hukum terbuka. Perkara a quo terlihat sangat jelas berada dalam wilayah batas usia untuk jabatan tertentu ini,” kata Bivitri.
Hal itu tertuang dalam salinan legal opinion yang dikutip detikcom, Jumat (1/9/2023). Legal opinion itu juga disampaikan dalam sidang di MK, Rabu (30/9) kemarin. Ketujuh putusan itu adalah:
1. Putusan MK No 15/PUU- V/2007 yang menguji syarat usia calon kepala daerah. MK menyatakan:
UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Dengan kata lain, oleh UUD 1945 hal itu dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang (hlm. 56).
2. Putusan MK No 37-39/PUU-VII/2010 yang menguji tentang ketentuan syarat usia Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. MK menyatakan:
Dalam kaitannya dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimal atau maksimal tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya. Dengan kata lain, oleh UUD 1945 hal itu dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum (legal policy) pembentuk Undang-Undang. (hlm. 59).
3. Putusan MK No 49/PUU-IX/2011 yang menguji salah satunya persyaratan usia minimal Hakim Mahkamah Konstitusi. MK menyatakan:
UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu untuk menduduki semua jabatan dan aktivitas, sehingga disimpulkan sebagai kebijakan hukum terbuka (hlm. 69).
4. Putusan Nomor 56/PUU-X/2012 tentang penentuan batas usia hakim ad hoc pada pengadilan yang berbeda-beda. MK menyatakan:
Mahkamah berpendirian bahwa terhadap kriteria usia yang UUD 1945 tidak menentukan batasan usia tertentu untuk menduduki semua jabatan dan aktivitas pemerintahan, hal ini merupakan kebijakan hukum (legal policy) dari pembentuk Undang-Undang, yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk Undang-Undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. (hlm. 35)
5. Putusan Nomor 7/PUU-XI/2013 tentang usia hakim MK. MK menyatakan:
Batas usia merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk Undang-Undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada dan sesuai dengan jenis dan spesifikasi serta kualifikasi jabatan tersebut (hlm. 31)
6. Putusan MK No 65/PUU-XV/2017 tentang pengujian ketentuan syarat usia perangkat desa dalam UU Desa. MK menyatakan:
Mahkamah mengutip Putusan MK No. 49/PUU-IX/2011, dengan menjelaskan kembali berkaitan dengan posisi Mahkamah dalam menilai syarat usia yang tidak ditentukan secara khusus oleh UUD 1945 (hlm. 17).
7.Putusan MK No 58/PUU-XVII/2019, dilakukan pengujian terhadap ketentuan syarat minimal usia calon gubernur dan wakil gubernur, serta bupati/wali kota dan wakil bupati/wali kota. MK menyatakan:
Mahkamah kembali mengutip Putusan MK No. 15/PUU-V/2007 yang juga menguji syarat usia untuk menjadi calon kepala daerah. Mahkamah menegaskan alasan yang sama bahwa UUD 1945 tidak memberikan ketentuan terkait usia minimum untuk jabatan-jabatan publik sehingga dapat dianggap bahwa konstitusi memberikan keleluasaan bagi para pembentuk undang-undang untuk menentukan syarat, termasuk usia minimal (hlm. 21-22)
“Dalam perkara 112/PUU-XX/2022, ada konteks pemilihan kembali Pemohon (yang mengalami kerugian konstitusional) yang dipertimbangkan Mahkamah karena isunya adalah Pimpinan lembaga tertentu (KPK) yang mekanisme pemilihannya lebih terbatas, bukan melalui pemilihan umum (popular vote) sebagaimana halnya perkara a quo,” ujar Bivitri.
Perbedaannya, kasus gugatan usia capres/cawapres tidak mengalami proses yang sama dengan kasus pimpinan KPK.
“Pemohon (penggugat judicial review usia capres/cawapres) tidak mengalami perubahan kebijakan di tengah jalan seperti halnya pemohon dalam perkara 112/PUU-XX/2022. Kebijakan mengenai umur tersebut sudah ada sejak lama dan dengan logika kebijakan hukum terbuka, bila memang ada keinginan untuk menghapus diskriminasi, para Pemohon perkara a quo sudah sejak lama bisa melakukan advokasi kebijakan ke DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang,” ungkap Bivitri.
Oleh sebab itu, Bivitri menegaskan batasan umur sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden nyata-nyata bukan isu konstitusional. Bahkan setelah diuji dengan beberapa pengecualian yang dibuat oleh MK, perkara a quo tetap merupakan perkara yang seharusnya ada pada wilayah pembentukan undang-undang.
“Mahkamah Konstitusi harus konsisten dengan putusan-putusannya selama ini mengenai kebijakan hukum terbuka atau open legal policy. Mengingat isu politik yang sangat kuat dalam perkara a quo, bila memang ada perubahan yang dianggap penting oleh Mahkamah, maka perubahan itu harus dilakukan setelah Pemilu 2024 dan oleh pembentuk undang-undang,” pungkas Bivitri.
Sebagaimana diketahui, Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 diajukan oleh PSI yang meminta usia capres/cawapres minimal 35 tahun. Digabung juga sidang 51/PUU-XXI/2023 yang diajukan Partai Garuda yang meminta usia capres/cawapres 40 tahun atau pernah menjabat di bidang pemerintahan. Adapun perkara 55/PUU-XXI/2023 juga digabung yang diajukan oleh sejumlah kepala daerah. Mereka meminta agar capres/cawaprers minimal 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.
Pasca gugatan usia minimal, muncul gugatan usia maksimal capres/cawapres. Sebagaimana diajukan leh Aliansi 98 Pengacara Pengawal Demokrasi dan HAM. Selain meminta usia capres/cawapres dibatasi maksimal 70 tahun, aliansi ini meminta pengaturan syarat capres/cawapres lainnya, yaitu:
tidak pernah melakukan kekerasan dan/atau menjadi bagian orang atau kelompok orang yang melakukan pelanggaran HAM berat, penculikan aktivis, penghilangan orang secara paksa serta terlibat atau menjadi bagian orang atau kelompok orang yang melakukan pelanggaran HAM dari peristiwa pelanggaran HAM 1998.
“Kami meminta dan ingin memastikan negara hadir pada pemilu tahun 2024 untuk secara aktif dan responsif mencegah masuknya calon Presiden dan/atau Wakil Presiden yang memiliki rekam jejak pernah melakukan kekerasan dan/atau menjadi bagian orang atau kelompok orang yang melakukan pelanggaran HAM berat, penculikan aktivis, penghilangan orang secara paksa serta terlibat atau menjadi bagian orang atau kelompok orang yang melakukan pelanggaran HAM dari peristiwa pelanggaran HAM 1998,” kata Ketua Aliansi 98, Halim Javerson Rambe, dalam keterangan pers.