Penulis : Pemerhati Hukum Achmad Fauzi S.H.,CLL
Candi Borobudur, warisan dunia yang menjadi kebanggaan Indonesia sekaligus ikon pariwisata Jawa Tengah,
Candi Borobudur kini pengelolaan dalam sorotan terkait pola pengelolaannya. Walaupun dibawah naungan Pemerintah Kabupaten Magelang, tetapi hanya sebatas koordinatif dan partisipatif.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 101 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Terpadu Kawasan Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Ratu Boko, peran utama pengelolaan Borobudur berada di tangan PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko (PT TWC), sedangkan Pemerintah Kabupaten Magelang hanya ditempatkan pada posisi koordinatif dan partisipatif.
Secara normatif, Perpres tersebut menegaskan bahwa PT TWC-yang merupakan BUMN di bawah Kementerian BUMN-memegang kendali strategis atas aspek operasional, komersial, dan pengelolaan kawasan.
Di sisi lain, Pemkab Magelang tidak memiliki kewenangan langsung dalam pengambilan keputusan terkait pemanfaatan ekonomi kawasan, pengaturan zonasi wisata, maupun distribusi manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Kondisi ini menimbulkan kritik dari berbagai pihak, terutama dari kalangan akademisi, pemerhati kebudayaan, dan pelaku UMKM lokal.
Mereka menilai pengaturan yang terlalu sentralistik dan korporatis ini berpotensi menyingkirkan peran daerah serta mengurangi makna otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 18 UUD 1945 menegaskan prinsip desentralisasi yang memberi kewenangan nyata kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Dalam konteks ini, Candi Borobudur yang terletak di wilayah administratif Kabupaten Magelang seharusnya tidak hanya menjadi objek pengelolaan BUMN, tetapi juga menjadi ruang partisipasi aktif pemerintah daerah dan masyarakat lokal, Kata Fauzi.
BACA JUGA: Akses Wisata Candi Borobudur Tutup, Pelaku UMKM Sepi Pengunjung
Model pengelolaan yang menempatkan Pemkab Magelang hanya pada posisi koordinatif dan partisipatif tanpa otoritas nyata berpotensi memunculkan ketimpangan.
Masyarakat sekitar candi yang selama ini menggantungkan hidup dari aktivitas ekonomi pariwisata akan kesulitan bersuara ketika kebijakan sepenuhnya ditentukan oleh korporasi pusat.
Idealnya, pengelolaan Candi Borobudur mengedepankan prinsip “kolaborasi sejajar”, di mana pemerintah pusat melalui PT TWC berperan pada aspek konservasi dan promosi internasional, sementara Pemkab Magelang dan masyarakat lokal berperan langsung dalam pengelolaan wisata, ekonomi kreatif, serta pengaturan tata ruang sosial budaya di sekitar kawasan.
Jika otonomi daerah hanya dijalankan secara simbolik, maka nilai-nilai kearifan lokal dan kesejahteraan masyarakat sekitar Borobudur akan terpinggirkan oleh kepentingan ekonomi yang bersifat top-down.
Candi Borobudur bukan sekadar aset pariwisata nasional, melainkan ruang hidup masyarakat Magelang yang harus dikelola dengan semangat keadilan, kemandirian, dan kebersamaan.
Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah pusat melakukan evaluasi terhadap Perpres 101 Tahun 2024 agar tidak hanya berpihak pada kepentingan korporasi BUMN, tetapi juga pada asas pemerataan manfaat dan keadilan daerah.
Hanya dengan keseimbangan peran antara pusat, daerah, dan masyarakat, Candi Borobudur dapat benar-benar menjadi warisan dunia yang hidup dan menyejahterakan rakyat di sekitarnya, Pungkasnya.
Sumber data dan informasi terpercaya.