Menjadi wartawan profesional harus mempunyai kompetensi dan jejariling lobi sebab wartawan professional adalah sebuah cita-cita dan idealisme yang sangat layak diraih pada saat ini.
Terutama meningkatkan pengetahuan dan harus bisa melakukan komunikasi dan deplomasi dan jejaring lobi atau interaksi sosial.
Jurnalistik adalah dunia yang sangat menantang, kompleks, bergengsi, penuh resiko dan bahaya, menggairahkan sekaligus mampu menebarkan pesona, kecerdasan, pengetahuan dan integritas tinggi. Menjadi wartawan jelas menuntut kecerdasan dalam mencari peristiwa penting dan menarik, menganalisa, mengevaluasi, dan mengolahnya menjadi berita, reportase, feature, juga cerdas dalam membedakan antara fakta dan opini.
Maka wartawan professional harus menyajikan informasi yang benar, faktual, aktual dan akuratdan berimbang sesuai kaedah dan kode etik jurnalistik.
Seorang wartawan harus mempunya bekal pengetahuan yang cukup ( Knowlidge ) tentang bahasa Indonesia yang baik dan benar, dan menguasai teknik penyusunan berita, reportase,dan feature, dan skill karena harus menguasai tehnik wawancara juga trampil menggunakan kamera untuk mendapatkan foto-foto jurnalistik.
Wartawan adalah profesi maka setidaknya memiliki dua unsur didedikasikan untuk masyarakat umum (Publik) dan dinaungi oleh sebuah organisasi profesi (Asosiasi wartawan) seperti PWI, AJI, AWDI, SPRI, PPWI dan asosiasi yang diatur dalam UU Pers No 40 Tahun 1999 seperti Insan Pers Jawa Tengah (IPJT) dan Persatuan Wartawan On Line (PWO) karena dengan perkembangan teknologi saat ini media tidak hanya media cetak juga media elektronik regulasi wartawan atau penerbitan tidak hanya mengikuti UU Pers (UU 40/1999) tetapi juga Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU 11/2008) karena sekarang ada Media Sosial (Medsos) yang melakukan pemberitaan tanpa melalui editing (Redaksi) kalau tidak hati -hati dapat diindikasi berita bohong (Hoax) yang dapat terjerat pasal 28 ayat (1) UU ITE. Maka seyogyanya apabila ada kasus yang menimpa wartawan yang memiliki legalitas penerbitan dan berbadan hukum hendaknya harus merujuk Undang-Undang Pers (Pasal 5 Ayat (2) tentang Hak Jawab dan Pasal 5 ayat (3) tentang Hak Koreksi. Karena wartawan tidak dapat dikenai asas hukum umum yaitu KUHP (Lex Generalli) dalam hal ini berlaku asas hukum khusus yaitu UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers (Lex Speciaslis ) Lex Speciaslis Derogate Legi Generali yaitu aturan khusus mengesampingkan aturan yang umum .
Selain itu wartawan juga dituntut memiliki attitude atau integrtitas yang tinggi dan bekerja dengan segenap hati nurani, seperti kejujuran, sikap netral, etiket baik, ketelitian, dan menjunjung tinggi kode etik jurnalistik atau wartawan (Coblentz,1961)
Bahwa seorang wartawan yang memiliki hati nurani dan kepekaan pikiran kebenaran dan keeadilan (William Randolph Hearst,1961)
Bahwa seorang wartawan yang baik harus memiliki sejumlah aset dan modal diantaranya mempunyai rasa ingin tahu (Sense of Knowing), daya gerak untuk hidup (Vitalitas), Nalar atau logig (Brainstorming)
Pers selama ini memberikan kontribusi yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat dunia, sehingga Thomas Jefferson mengklaim pers merupakan the fourth estate (kekuasaan ke empat) selain yudikatif, legeslatif dan eksekutif. Tentu saja klaim seperti itu hanya angin surga bagi pers, membuat para pekerja pers merasa diposisikan sebagai “dewi fortuna dewanya kesejahteraan Dewa Yama Dipati sang pencabut nyawa.”
Para pekerja pers terlena akan angin surga, sehingga kesulitan untuk jumawa penyandang pilar ke empat (social controller). Padahal apa yang diungkapkan Thomas Jefferson hanya terealisasi pada sisi idealisme pers. Sementara sisi realistis justru memperlihatkan fakta yang berseberangan, pers yang semula dipersiapkan oleh politik sebagai interpreneur dan membantu pencitraan lembaga pemerintah bukan sebagai alat perjuangan dan sebuah cita-cita sehingga kebanyakan pers menjadi semacam mesin guna menjaring sekian banyak keuntungan komersial (Pers Capitalis).
Memang, awalnya sejarah pers diletakkan di atas dasar-dasar idealis. Namun peletakan dasar idealis itu dilakukan dengan melibatkan pemerintah daerah sebagai pihak yang menggelontorkan dana APBD, tidak heran apabila banyak dana APBD di propinsi maupun kabupaten/kota dialokasikan guna menghidupi institusi pers lewat periklanan. Advertorial dan travelling dan mengikuti study banding para legislator dengan alasan untuk penguatan pemberitaan Pemda. (Khususnya Media Kapitalis (Mainstream ) atau Media konstituen Dewan Pers)
Bahkan organisasi profesi wartawan tidak bisa hidup tanpa kucuran dana APBD tersebut tetapi jangan mengesampingkan tupoksinya yaitu kontrol sosial, kritikan, saran yang berkaitan kepentingan publik sesuai undang-undang pers (UU No 40 tahun 1999).
Dari monitoring penulis sebagian besar institusi pers tumbuh dan berkembang karena suntikan dana APBD oleh sebab itu, mustahil mengharapkan memainkan peran dan fungsinya sebagaimana melakukan pencerahan (An lightning), sebaliknya pers selalu akan tampil sebagai “bodyguard” pemerintah daerah (Pemda) yang senantiasa siap maju ke depan untuk mengubah citra seorang pejabat korup (Betoro Kolo) arti jawa sengkolo atau jahat menjadi (Betoro Wisnu) dewa penyelamat dunia dalam istilah jawa Memayu Hayunhing Bawono .
Realistas ini tentu sangat terkait dengan sejarah pers yang tak akan pernah bisa menampilkan sosok pers yang sebenarnya. Di hadapan elit-elit pejabat pemerintah, pers tidak dapat dijadikan acuan bagi publik untuk mengetahui fakta-fakta yang sebebanrnya.
Kesimpulan ini akan semakin jelas bila kita lihat dari sektor penerimaan iklan institusi pers yang ada di pemda, dari sektor birokrasi pemerintahan menempati posisi terbesar setelah sektor usaha. Karena itu, birokrasi pemerintahan daerah bagi pers adalah semacam sumber penghasilan sehingga tidak perlu diganggu gugat, karena ketergantungan pers terhadap pemerintah daerah sangat tinggi, yang membuat posisi tawar mereka sangat rendah. Karena itu, sisi idealisme pers tak akan pernah mengedepankan independent dan jurdil di hadapan pemerintah pusat dan daerah.
Elit pejabat pemerintah bagi masyarakat umum memiliki kedudukan tinggi dalam stratifikasi sosial. Sebab itu setiap kelompok masyarakat selalu berupaya untuk dekat dengan para elit. Mereka bersedia melakukan apa saja, bahkan untuk melacurkan diri, tidak heran bila seorang elit pemerintah secara tiba-tiba memiliki banyak saudara secara sosio cultural.
Secara mendadak seorang yang baru dilantik sebagai pejabat publik akan dikelilingi orang-orang yang memiliki hubungan kultural dengan dirinya, meskipun selama ini pejabat bersangkutan nyaris tidak pernah tahu dengan saudara-saudara kulturalnya.
Bagi wartawan, seorang elit pejabat publik mestinya dilihat dalam kapasitasnya sebagai bagian dari birokrasi pemerintahan. Birokrasi adalah semacam mekanisme yang diciptakan agar elit mampu mengatur jajarannya dalam rangka melayani publik, namun wartawan memiliki cara pandang yang tidak seperti yang diyakini masyarakat umum. Secara tiba-tiba wartawan melihat elit pejabat publik sebagai sebuah momentum, dimana dirinya dapat memanfaatkan posisi kepejabatannya itu dengan memaikan peran sebagai “Guard”,”Suggest”, atau “Social Control ” kalau mengaku wartawan dan menerapkan kode etik jurnalistik senantiasa menjaga etika hukum yang selalu mengedepankan independent dan praduga tak bersalah ( Presumption of Innocent) yang selalu mempertanyakan otoritas pejabat public yang tidak bertanggungjawab dan berani menyuarakan yang tidak bersuara menjadi bersuara dalam hal ini orang yang kecil dan dhuaffa dan marginal tidak hanya mengandalkan Pers Realise atau langsiran berita Pemerintah atau Pemda. Pada akhir Aprl 2018 Dewan Pers digugat dua Organisasi Pers yaitu SPRI dan PPWI dengan alasan gugatan adalah Perbuatan Melawan Hukum ( Onrecthmatige Daad) bahwa selama ini Peraturan Dewan Pers sebagaimana pasal 15 ayat (2) huruf f UU 40/1999 tentang Pers digunakan melampaui kewenangan UU Pers sebab sering melakukan Ferikasi dan Uji Kompetensi ada dugaan untuk kepentingan bisnis dan cenderung memarjinalkan Organisasi Wartawan atau perusaahaan Pers yang tidak konstituen Dewan Pers. Di Tingkat PN Dewan Pers Menang karena Gugatan SPRI dan PPWI ditolak (NO) dan di tingkat Banding di PT Jakarta. Gugatan Banding SPRI dan PPWI diterima, yang dinahkodai oleh Heintje Grontson Mandagie dan Wilson Lelengke maka Peraturan Dewan Pers (PerDP) tidak lagi mengikat Organisasi Pers atau Perusahaan Pers atau wartawan karena harus menunggu Putusan Pengadilan Yang Mempunyai Hukum Tetap ( In Kracht Van Gewijsde ) maka secara otomatis Norma Hukum kembali ke UU Pers atau ( Null And Void) dan tidak sampai di situ aja perjuangan Heintje Grontson Mandagie CS mengajukan Gugatan Uji Meteriil ( Yudicial Review) UU Pers dengan pasal yang sama 15 ayat (2) huruf f UU 40/1999 tentang Pers Ke MK walaupun endingnya ditolak tetapi semangatnya patut kita contoh dan akhirnya dalam konsederannya MK mendalilkan bahwa Peraturan dewan Pers bukan Regulator ( Regiling ) tetapi sebatas fasilitator Organisasi Pers untuk membuat peraturan di bidang Pers.
Maka menjadi wartawan professional hendaknya mempunyai bekal pengetahuan (knowligde) dengan melakukan kegiatan 6M (mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, menyampaikan informasi) serta mempunyai ketrampilan ( Skill ) melakukan reset, investigasi, analisis, prediksi serta menggunakan alat tehnologi informasi guna meningkatkan kepercayaan publik (Intergritas) terhadap kinerja wartawan dan pada gilirannya berpengaruh kepada kepercayaan perusahaan pers ( Rating ) atau Oplah dan Iklan pada perusahaan pers dan akhirnya bermuara pada penghasilan wartawan maka diperlukan kemampuan deplomasi atau jejaring dan lobi.
(Sri W)